Karakter Apresiasi

Sumber: Koran Tempo 5 Desember 2013, versi asli

Karakter Apresiasi

Kelik M. Nugroho (@KelikMNugroho)

Ketika perhelatan Ujian Nasional 2013 diwarnai kekacauan di beberapa daerah, dan buntutnya ada laporan penyelewengan yang dialamatkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan korupsi, saya terpikir untuk berkomentar di Twitter. “Ketika yang baik-baik tidak diapresiasi, jangan salahkan jika yang buruk-buruk malah terkuak ke publik,” kata saya kurang lebih begitu. Kicauan ini di-retweet (RT) beberapa teman yang mengindikasikan bahwa pendapat saya menarik dan didukung sejumlah follower saya.

Saya sendiri tidak mencoba menyebut (mention) akun Menteri Nuh yang kadang-kadang aktif, atau akun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang kurang aktif, karena bagi saya peristiwa di Kementerian Pendidikan itu hanya saya ambil hikmah dan renungannya. Kicauan saya pun tak menyebut nama Kementerian, karena hal yang serupa sangat mungkin terjadi di lembaga lain.

Padahal, harus diakui renungan itu bisa muncul sejatinya memang karena saya sedikit tahu “daleman” Kementerian Pendidikan. Setahu saya penunjukan pejabat di kementerian ini, khususnya pejabat eselon I setingkat direktur jenderal, dilakukan berdasarkan pertimbangan politik, selain sedikit pertimbangan kompetensi. Si Anu diangkat menjadi dirjen karena itu pesanan dari partai ini, partai itu, demikian bisik-bisik antar-orang. Salah satu indikasi yang mencolok di mata saya, ada seorang pejabat yang pernah mendapat penghargaan internasional, eh toh dia enggak naik-naik jabatan juga. Kalaupun naik jabatan, diperlukan waktu lebih lama.

Omong-omong soal apresiasi, pada Jumat, 29 November 2013, Kemdikbud menyelenggarakan Anugerah Peduli Pendidikan. Sebanyak 29 penghargaan diberikan untuk mengapresiasi pihak-pihak yang telah memberikan kontribusi nyata dalam bidang pendidikan melalui berbagai cara sepanjang 2013. Para penerima penghargaan dibagi dalam lima kategori: Perusahaan/BUMN, Kabupaten/Kota; Yayasan Nirlaba/Kelompok Masyarakat; Individual/Inovator Pendidikan; dan Program Acara Televisi.

Dari perusahaan yang layak dicatat ada PT Sido Muncul yang menyalurkan dana sosialnya untuk mengobati siswa yang menderita penyakit mata, karena hal itu mengganggu prestasi belajar siswa. “Anak saya dulu juga sakit mata, dan karena itu prestasinya merosot. Setelah sembuh, dia pintar seperti bapaknya, “ kata Irwan Hidayat dari Sido Muncul sambil terbahak. Berdasarkan pengalaman pribadi itu, dia membuat program sosial itu, sesuatu yang masuk akal. Dari kategori lain, ada nama-nama seperti Andi F. Noya, Yayasan Indonesia Mengajar-nya Anies Baswedan, dan AA Ayu Ketut Agung.

Di depan para penerima penghargaan dan tetamu lain, Menteri Muhammad Nuh mengatakan bahwa salah satu alasan pemberian apresiasi itu adalah karena kementerian ingin belajar memberikan penghargaan. “Karena kebiasaan menghargai itu harus dibangun, kata Menteri Nuh yang wajahnya terpancar di layar LCD jumbo berdifinisi tinggi tampak tulus dengan tangan kanan diletakkan di depan dadanya. Kata kuncinya, kebiasaan mengapresiasi harus dibangun karena kecenderungan manusia itu susah menghargai prestasi orang lain. “Hanya orang yang berhasil yang bisa menghargai keberhasilan orang lain, karena dia tahu betapa berat efffort-nya, kata Nuh lagi.

Tentu, sikap mengapresiasi itu positif, tapi Menteri Nuh mestinya mengimbangi budaya mengapresiasi pihak luar dengan mengapresiasi juga birokrat-birokrat yang baik di dalam Kementerian. *

Taman Bacaan Koleksi Tokoh

Sumber: Koran Tempo Minggu, 24 Maret 2013, halaman A21, rubrik Ide

Taman Bacaan Koleksi Tokoh

Kelik M. Nugroho, penulis dan wartawan

Para tokoh berbagai bidang umumnya memiliki koleksi buku yang bermutu, terseleksi, penting, bersejarah, dan mungkin mahal. Namun sering kali, sepeninggal si tokoh, ahli warisnya tak mampu merawat koleksi itu, karena kendala ekonomi dan perbedaan minat serta kecintaan terhadap buku. Lebih buruk dari itu, koleksi si tokoh tak jarang dibuang ke tempat sampah, atau dijual ke pedagang barang bekas, atau rusak berat karena musibah kebakaran, kebanjiran, dan lain-lain. Padahal koleksi buku si tokoh sebetulnya aset penting dan mahal.

Banyak cerita mengenaskan mengenai nasib buku koleksi para tokoh ini. Contohnya, koleksi buku Ragil Suwarno Pragolapati, sastrawan Yogya seangkatan Emha Ainun Nadjib, yang hilang secara misterius di Pantai Parangtritis, Bantul, pada 1990-an. Selain dikenal sebagai sastrawan, dia dikenal sebagai dokumentator sastra yang gigih, tekun, dan berdedikasi. Isi dokumentasinya diperkirakan berjumlah ribuan dalam berbagai format, yaitu buku, buletin, majalah, lampiran, dan lain sebagainya.

Dulu, koleksi dokumentasi tersebut disimpan di rumah kontrakannya yang sederhana di Kampung Minggiran, Yogya. Setelah Ragil menghilang, istrinya harus menghidupi dua anaknya dan merawat buku warisan tersebut. Sampai tahun 2009, istri dan anaknya hidup di rumah kontrakan dan berpindah dari satu rumah ke rumah lain. Sedangkan nasib koleksi buku Ragil? Tak jelas.

Ternyata, nasib mengenaskan tak hanya menimpa tokoh lokal seperti Ragil. Bahkan nasib koleksi buku milik salah satu pendiri Republik Indonesia pun bernasib mirip. Lihat saja Perpustakaan Hatta di Jalan Solo, Yogyakarta, yang dikelola oleh Yayasan Hatta. Berdiri sejak 1950-an (waktu itu masih di Jalan Malioboro), perpustakaan yang kemudian berpindah ke Jalan Solo itu terpaksa ditutup pada 26 April 2007. Dikelola oleh swasta, perpustakaan ini sebetulnya pernah menerima tawaran bantuan dari Presiden Soeharto, namun tawaran itu ditolak karena alasan perbedaan paham. Lama-kelamaan, pihak pengelola perpustakaan tak mampu menggaji karyawannya.

Buku-buku koleksi tokoh, dengan segala keunikannya, sebetulnya sangat bernilai. Tak hanya bernilai sejarah, juga bernilai rupiah. Namun bukan soal harga rupiah yang tinggi itu–jika dilelang–yang menjadi perhatian di sini, melainkan nilai sejarahnya yang sebetulnya bisa memiliki berjuta makna bagi generasi muda Indonesia. Bayangkan, seorang mahasiswa fakultas ekonomi sekarang bisa membaca buku Pengantar Kedjalan Ekonomi Sosiologi karya Muhammad Hatta keluaran Penerbit Fasco, Jakarta, tahun 1957. Betapa pengalaman itu (mungkin) akan menghadirkan perasaan yang tak sekadar transformasi tekstual.

Buku-buku koleksi tokoh adalah aset. Untuk itu, ia harus dirawat, untuk kepentingan yang lebih bernilai. Pemerintah bisa turun tangan untuk ini. Salah satu jalan untuk mewujudkan gagasan itu adalah menciptakan varian baru TBM Koleksi Tokoh, taman bacaan masyarakat yang dikelola oleh keluarga si tokoh yang memperoleh dana stimulan dari pemerintah.

Taman Bacaan Masyarakat (TBM) merupakan program Direktorat Pembinaan Pendidikan Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal, dan Informal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ada dua kategori TBM, yaitu TBM umum dan TBM komunitas khusus. Selama ini program TBM yang dikelola Direktorat Pembinaan Pendidikan Masyarakat secara umum berlangsung baik.

Dilaporkan, jumlah TBM di seluruh Indonesia ada 6.000 unit, walaupun laporan ini tak tercatat dalam data tertulis yang terstruktur. Sekitar 50 unit TBM memang telah diverifikasi keberadaannya dan masuk kategori TBM layak kunjung. Festival TBM yang diselenggarakan pada 2012 di Jakarta memperlihatkan gereget para pengelola TBM dalam menghidupkan program ini. Juga sejumlah TBM@Mall, varian baru TBM yang melayani pengunjung pusat belanja, masih mampu bertahan dan ikut mendukung sosialisasi TBM di masyarakat perkotaan.

Namun harus diakui bahwa sebetulnya ada beberapa kelemahan dalam pengembangan TBM. Pertama, menyangkut kualitas koleksi buku. Masih menjadi pertanyaan, bermutukah buku-buku yang tersedia di TBM? Atau adakah standardisasi buku-buku yang patut menjadi koleksi TBM? Kedua, menyangkut pengawasan penggunaan dana bantuan sosial (block grant) yang mengucur dari Direktorat Pembinaan Pendidikan Masyarakat. Apakah lembaga pengelola TBM yang mengajukan proposal dana benar-benar menggunakan dana sesuai dengan acuan? Apakah lembaga tersebut bonafide?

Nah, TBM Koleksi Tokoh, sebagai varian baru–mungkin bisa masuk kategori TBM Komunitas Khusus–diharapkan bisa mengatasi dua kelemahan yang disebutkan di atas. Dari sisi kualitas buku, TBM Koleksi Tokoh jelas memiliki koleksi buku yang bermutu, karena hasil koleksi seorang tokoh, dan secara umum merupakan buku lama yang memiliki nilai historis dan turistis. Dari sisi kelembagaan, karena TBM bertumpu pada si tokoh, diharapkan lembaga yang dibentuk lebih jelas identitasnya, dan tentu diharapkan mampu menjaga kepercayaan publik terhadap si tokoh.

Secara tidak langsung, TBM Koleksi Tokoh adalah penerjemahan dari konsep TBM Kreatif-Rekreatif–yang bertumpu pada koleksi buku si tokoh yang dinilai sebagai aset yang sangat bernilai untuk pendidikan masyarakat. TBM ini adalah gagasan cerdas untuk memanfaatkan koleksi buku seseorang, atau bahkan perpustakaan pribadi seseorang, dan sekaligus daya tarik si tokoh, untuk menghidupkan kegiatan taman bacaan masyarakat.

Konsep TBM Koleksi Tokoh ini berbeda dengan konsep perpustakaan pada umumnya, dan perpustakaan yang merupakan Unit Pelaksana Tugas Perpustakaan Nasional di bawah Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara pada khususnya. Perbedaan itu, antara lain: a) TBM Koleksi Tokoh bersifat memberikan insentif kepada si tokoh, atau ahli warisnya, jika si tokoh telah meninggal dunia; b) TBM Koleksi Tokoh mengutamakan buku koleksi si tokoh sebagai menu utama; c) TBM Koleksi Tokoh bersifat perpustakaan kecil yang intim untuk masyarakat; d) TBM Koleksi Tokoh berciri taman bacaan yang aktif dan proaktif membudayakan kegemaran membaca bagi masyarakat; e) TBM Koleksi Tokoh bersifat lokal.

Efek dari TBM Koleksi Tokoh niscaya majemuk. Antara lain, a) Mencitrakan bahwa pemerintah peduli pada tokoh masyarakat; b) Memberikan insentif kepada si tokoh, atau keluarganya, atas kecintaan mereka pada buku; c) Membukakan akses bagi publik ke koleksi buku si tokoh; d) Membuat daya tarik baru bagi program taman bacaan masyarakat; e) Memberikan alternatif wisata bagi masyarakat, yaitu wisata buku tua; f) Membuka kesempatan bagi tokoh masyarakat untuk berpartisipasi dalam membudayakan kegemaran membaca melalui taman bacaan masyarakat.

Banyak tokoh yang memiliki perpustakaan pribadi yang belum dioptimalkan manfaatnya untuk publik. Banyak tokoh yang ingin membuka perpustakaan pribadinya untuk bisa diakses publik, tetapi mereka tidak terlalu memahami mekanisme pengelolaan perpustakaan. Program TBM Koleksi Tokoh ini salah satu jalan keluarnya. *

Guru dan Kerajinan

Apa kabar para guru? Maaf lama saya tak memposting tulisan. Kali ini saya akan mengunggah video berjudul “Sentra Kerajinan Indonesia” (silakan klik untuk menyaksikan video). Isinya, wawancara saluran televisi MNC Business dengan Jati Eko Waluyo, pendiri Sentra Kerajinan Indonesia yang berkantor di Thamrin City Jalan Kebon Kacang (MH Thamrin) Jakarta Pusat pada 8 Maret 2013.

Isi wawancara tentang dunia kerajinan khususnya yang dilakukan oleh para pengrajin kecil di Kota Yogyakarta.  Jati berbicara tentang sejauh mana kerajinan kita diterima oleh pasar Indonesia, masa depan bisnis kerajinan kita, kritik-kritiknya kepada para pemangku kepentingan terhadap bidang ini dan lain sebagainya.

Apa pentingnya untuk para guru? Karena Kementerian Pendidikan di bawah M. Nuh sangat menekankan pentingnya pendidikan kewirausahaan, maka isi video ini bisa ikut mendukung keinginan para guru untuk menularkan semangat kewirausahaan melalui kerajinan tangan ke para muridnya.  jadi, sialakan para guru memanfaatkan video ini untuk pendidikan. *

Paradigma Baru Orkestrasi Birokrasi

*) Kolom Kelik M. Nugroho, wartawan Tempo ini diambil dari Koran Tempo, 4 Agustus 2010

Paradigma Baru Orkestrasi Birokrasi

Peristiwa penting terjadi di Desa Sungai Kijang, Kecamatan Ra-was Ulu, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan, 3 Agustus 2010. Sejumlah pejabat teras dari 11 kementerian yang dipimpin Kementerian Sosial dan kantor Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat berkunjung ke desa yang dihuni 252 jiwa dari suku Anak Dalam, komunitas adat terpencil yang dikenal hidup nomaden. Sebagian orang menyebut mereka suku Kubu. Bupati Musi Rawas Ridwan Mukti, sebagai tuan rumah, menjadi pemain utama dalam program lintas kementerian untuk memberdayakan masyarakat terpencil tersebut.

Kunjungan para pejabat itu dinilai sebagian masyarakat lokal sebagai “asek mimpi”, mengutip suara polos ibu-ibu setempat. Maklum, Desa Sungai Kijang berjarak 120 kilometer dari Kabupaten Musi Rawas. Jarak itu harus ditempuh sekitar 2 jam perjalanan dengan mobil. Untunglah, akses jalan yang beraspal mulus telah dibangun pemerintah setempat. Desa itu niscaya terpencil, karena Kabupaten Musi Rawas sendiri berjarak 7 jam perjalanan dengan kereta api dari Ibu Kota Palembang. Betapa jauh itu dari Jakarta. Jadi, bila sapaan Jakarta itu dinilai sebagai mimpi, bukan hal yang mengada-ada.

Acara di Musi Rawas itu terdiri atas tiga bagian. Pertama, paparan program dari tiap kementerian. Dalam hal ini, sebagian ada yang konkret dengan peluncuran program yang bernilai miliaran rupiah, namun ada sebagian yang lain memaparkan program yang umum-yang sebetulnya be-lum terfokus untuk penanggulangan kemiskinan di komunitas adat terpencil. Kedua, pengisian matriks yang berisi program (termasuk cost sharing) dan pelaksananya. Agenda ini usulan dari kantor Menko Kesra yang langsung direspons oleh Bupati Musi Rawas dengan rapat penyusunan matriks yang dilakukan secara “begadang semalam”. Ketiga, kunjungan ke lokasi komunitas adat terpencil dengan peluncuran program dan pengucuran dana secara simbolis.

Bupati Musi Rawas menilai program lintas kementerian itu merupakan paradigma baru kerja sama antarbirokrasi. Tentu, yang dimaksudkan, kerja sama birokrasi horizontal antarkementerian dan kerja sama birokrasi vertikal pusat-daerah. Maklum, selama ini masih banyak program pembangunan yang dilakukan secara parsial, karena adanya ego sektoral dari tiap lembaga.

Tentu ada penyebab lain, yakni keterbatasan anggaran dari sebagian kementerian. Contohnya kendala yang dihadapi kantor Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, yang seperti diakui oleh pejabatnya sendiri melalui seloroh, bahwa kantor Menko Kesra ibarat “pohonnya tinggi tapi buahnya jarang”. Karena itu, dalam hal ini apresiasi perlu diberikan ke Kementerian Pendidikan Nasional, melalui Direktorat Pendidikan Masyarakat di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan Non-Formal dan Informal, yang telah merintis “orkestrasi” lintas kementerian ini dan memiliki komitmen untuk “cost sharing”.

Masalah lain adalah masih kuatnya egosektoral dari bupati atau wali kota yang menjadi penguasa lokal yang salah menggunakan kekuasaannya, karena adanya bias dalam menerapkan konsep otonomi daerah. Dalam prakteknya di lapangan, otonomi daerah telah banyak disalahtafsirkan dengan memilih pejabat di dinas tertentu “semau bupati”. Contohnya, ada Kepala Dinas Pendidikan Provinsi yang dijabat oleh orang yang menjalani karier sebagai Kepala Satuan Polisi Pamong Praja. Kesalahan penerapan konsep otonomi daerah semacam inilah yang bisa menye-rimpung kerja sama birokrasi vertikal pusat-daerah. Di sinilah contoh yang dilakukan Bupati Musi Rawas yang merespons “sapaan” pusat menemukan relevansinya.

Semoga nantinya sinergi lintas kementerian dan birokrasi vertikal ini bisa dijadikan model untuk melancarkan program mempercepat penanggulangan kemiskinan pada komunitas adat terpencil. Maklum, penanganan masyarakat terpencil ini tak semudah menangani masyarakat di daerah-daerah normal pada umumnya. Dalam kasus masyarakat suku Anak Dalam, penanganan masalah itu dilaporkan begitu kompleks. Mereka memiliki cara hidup yang unik, yaitu berpindah-pindah. Program-program nasional tak .serta-merta bisa diterapkan di masyarakat ini. Misalnya, pembangunan perumahan untuk mereka. Ada aspek-aspek adat lokal yang membuat program perumahan itu bisa mubazir karena mereka belum memiliki konsep hidup yang menetap. Itu hanya salah satu aspek.

Di sinilah relevansi peluncuran programpembangunan yang lintas kementerian dan komprehensif. Tapi, siapkah setiap kementerian? Tampaknya belum semua, seperti yang bisa dibaca dari paparan pejabat yang mewakili kementerian tersebut. Tak semuanya siap dengan program yang terfokus untuk komunitas adat terpencil. Agar program lintas kementerian itu terarah, harus dipikirkan aspek-aspek berikut ini. Pertama, jangan terlalu berambisi dengan melancarkan semua program secara serempak. Misalnya termasuk pembangunan jalan. Salah-salah jalan itu malah bisa berefek kontraproduktif. Kedua, tak ada salahnya melancarkan program yang berfokus pada pembangunan sumber daya manusia, yang karena itu bersifat jangka panjang. Harus disusun prioritas dan tahapan pembangunan, agar program-program bisa efektif dan tak mubazir. *

TBM@MAL

TBM@MAL

Kelik M. Nugroho, WARTAWAN TEMPO

Sumber: Rubrik Ide, Koran Tempo, 2 Mei 2010.

Sekitar 12 taman bacaan masyarakat kini hadir di sejumlah pusat belanja di Jakarta, Serang, dan Bandung. Di tempat ini, masyarakat bisa duduk di kursi-kursi nyaman sembari membaca buku secara gratis. Atau juga sembari menyeruput minuman kopi–yang dipesan dari kafe sebelah. Suasana taman bacaan mirip kafe, atau toko buku, atau tempat bermain anak (kid corners).

TBM@MAL, yang dibangun Kementerian Pendidikan Nasional, adalah sebuah konsep tempat dan kegiatan untuk mensosialisasi kegemaran membaca buku, yang disesuaikan dengan psikologi pengunjung pusat belanja, khususnya mal. TBM adalah taman bacaan masyarakat mirip perpustakaan, tapi memiliki konsep lebih, yaitu mendatangkan suasana rekreatif.

TBM@MAL sebetulnya tak memiliki konsep jadi. Dalam tataran konsep, TBM@MAL memperoleh penafsiran dari beberapa pendukungnya. Ada yang menafsirkan bahwa TBM@MAL haruslah menghadirkan suasana fun(senang), berdesain interior funky, serta menyediakan buku-buku instan dan bergambar. Lalu ada yang mengusulkan agar TBM@MAL memberikan fasilitas bermain untuk anak (kids corner), panggung ekspresi, dan lain-lain. Dalam penerapannya di lapangan, dipastikan bentuknya menjadi variatif.

Sebagai sebuah ide, TBM@MAL unik dan baru. Di luar negeri, banyak mal dilengkapi dengan perpustakaan. Di Filipina, toko-toko buku di mal menyediakan tempat duduk, juga kafe, bagi pengunjung untuk membaca buku–kalau tak malu–secara gratis. Di Singapura, ada mal yang menyediakan perpustakaan cukup besar dan keren. Di Indonesia? Sekarang inilah dibangun taman bacaan masyarakat, suatu ruang baca buku yang bukan sekadar perpustakaan.

Kebutuhan akan sarana pendidikan ini memperoleh pembenarannya melalui hasil penelitian untuk skripsi karya Inca Agustina yang berjudul “Gambaran Gaya Hidup Remaja yang Memiliki Keterlibatan Tinggi terhadap Shopping Mall” (Penerbit: Unika Atma Jaya, tahun 2005), yang menunjukkan fakta-fakta sebagai berikut. Bahwa remaja didapati menjadi pengunjung mal terbesar dibandingkan dengan kelompok usia lain, karena remaja memiliki waktu luang lebih banyak. Bahwa bagi remaja, mal menjadi sarana rekreasi di mana mereka dapat memenuhi kebutuhan dengan bersosialisasi dengan teman, menikmati fasilitas hiburan, atau hanya melihat-lihat pemandangan dalam mal tersebut. Bahwa walaupun mal memberi banyak pengaruh positif terhadap remaja, sering kali terdapat pandangan negatif bahwa remaja yang sering berkunjung ke mal adalah remaja yang kurang peduli sosial, hanya mempedulikan penampilan fisik, dan konsumtif.

Dari hasil penelitian ini, didapati tiga tipe gaya hidup, yakni “self-centered”, “super-active”, dan “passive”, dengan subyek terbanyak berada pada tipe gaya hidup “Super-Active” (63,2 persen). Kesimpulan dari penelitian ini, sebagian besar remaja yang memiliki keterlibatan tinggi terhadap mal juga memiliki kepedulian tinggi terhadap dunia sekitarnya dan memiliki keinginan untuk berprestasi. Karena itu, para praktisi pemasaran mal yang target konsumennya adalah remaja harus menyediakan sarana dan fasilitas yang bersifat mendidik dan merangsang kreativitas agar mal tidak hanya berfungsi sebagai sarana rekreasi dan hiburan, namun juga menjadi sarana pendidikan.

Mal tampaknya bagian dari perkembangan kebutuhan masyarakat pascamodern yang niscaya. Ia mengalir, dan merangsek dalam kehidupan kita seperti kehadiran telepon genggam dan Internet di rumah kita. Kita tak bisa melawannya secara frontal. Yang bisa kita lakukan adalah menghindari dampak negatif dari poros-poros yang mempengaruhi peradaban kita di masa depan.

Pemikir dan filsuf media Jean Baudrillard sudah lama membaca gejala sosiologi baru masyarakat konsumen ini melalui buku-bukunya. Teorinya untuk membaca sosiologi baru ini adalah teori hiperrealitas. Untuk menjelaskannya, saya akan mengutipkan saja pengertian hiperrealitas seperti ditulis Madan Sarup dalam buku Pos-strukturalisme dan Pos-modernisme, Sebuah Pengantar Kritis (Penerbit Jendela, 2003). Hiperrealitas adalah kondisi baru ketika ketegangan lama antara realitas dan ilusi, antara realitas sebagaimana adanya dan realitas sebagaimana seharusnya, hilang. Di masyarakat media dan konsumsi, orang terjebak dalam permainan citra, simulacra, yang semakin tidak berhubungan dengan yang di luar, “realitas” eksternal. Pada kenyataannya, kita hidup di dunia simulacra, di mana citra atau penanda suatu peristiwa telah menggantikan pengalaman dan pengetahuan langsung sebagai rujukan.

Mal tentu saja bagian dari arus ini. Sebuah frasa menarik tentang mal perlu dikutipkan di sini, yang sayang saya lupa sumbernya. Bahwa mal-mal yang berpenampilan menarik, dengan desain dan cat yang mencolok, menghidupkan kota bagai cahaya yang mampu menarik laron-laron terbang mengelilingi lampu yang bersedia jatuh dalam baskom berisi air sebagai perangkap untuk meniadakan mereka. Mal yang dapat menumbuhkan ideologi individualisme akan konsumsi memang bisa menjebak manusia pada nihilisme sebagai elemen kebenaran. Nah, di sinilah urgensi kehadiran TBM@MAL: sebagai filter terhadap konsumerisme. *

Perubahan Melalui Membaca

Perubahan Melalui Membaca

Oleh: Kelik M. Nugroho, wartawan Tempo

 Sumber: Koran Tempo, 16 Januari 2010

 Change with Reading (CwR). Itulah tema serangkaian acara untuk menularkan budaya baca yang digelar di Rumah Dunia, Serang, organisasi non-pemerintah untuk pendidikan informal yang didirikan oleh pengarang Gola Gong, pada 9 Januari 2010. Bertujuan menyadarkan masyarakat akan betapa pentingnya membaca, acara itu diisi antara lain dengan pemilihan Duta CwR dari kalangan pelajar SMA se-Provinsi Banten, dan diskusi tentang budaya baca bersama pembicara antara lain Ella Yulaelawati  MA, PhD (Direktur Pendidikan Masyarakat Departemen Pendidikan Nasional) dan Endang Eko Koswara (Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Banten).

Change with Reading, yang berarti perubahan melalui membaca, adalah tema yang memiliki pesan mendalam tentang pengaruh penting membaca untuk transformasi nilai, salah satunya dalam bentuk perubahan. Perubahan bisa berarti positif atau negatif. Dan tentu, dalam hal penularan virus budaya baca, pengertian perubahan itu adalah perubahan yang positif. Peristiwa pendidikan di Rumah Dunia ini, meskipun hanya diikuti sekitar 100 siswa SMA, tetaplah layak diapresiasi. Di tengah kondisi masyarakat Indonesia yang budaya bacanya relatif masih rendah, segala upaya untuk mendongkrak budaya baca tentulah bernilai.

Budaya baca ini penting untuk ditekankan karena membaca merupakan salah satu pintu menuju perubahan dan pemberdayaan diri. Adapun kegiatan membaca, yang bisa ikut berperan dalam perubahan sosial, tak membedakan status sosial-ekonomi masyarakat. Sebuah studi yang dilakukan oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pengembangan Ekonomi (Organization for Economic Cooperation and Development, OECD) melalui program yang disebut Programme for International Student Assessment (PISA) pada 2006 menunjukkan bahwa remaja dari berbagai kalangan-termasuk dari latar belakang yang paling kurang mampu- dapat lebih cemerlang dari teman-teman sebaya mereka yang lebih kaya jika mereka secara teratur membaca buku-buku, surat kabar, dan komik di luar sekolah. Juga menurut laporan studi “Membaca untuk Perubahan “pada 2007, ditemukan secara signifikan bahwa mendorong membaca untuk kesenangan bisa menjadi salah satu cara yang paling efektif untuk mewujudkan perubahan sosial.

 Temuan lain mengungkapkan bahwa siswa yang sangat terlibat dalam membaca terbukti secara signifikan dapat mencapai nilai di atas skor rata-rata internasional, terlepas dari apa pun latar belakang keluarga mereka. Hal ini membuktikan bahwa walaupun latar belakang sosio-ekonomi sangat berperan, bukan berarti dapat menjadi faktor dominan dalam memprediksi keterlibatan membaca bahan bacaan yang beragam. Penelitian juga menemukan bahwa ketersediaan bahan bacaan di rumah sangat berperan dalam mengembangkan kemampuan membaca anak. Anak yang memiliki akses ke sejumlah besar buku cenderung lebih tertarik untuk membaca secara meluas.

Sayangnya, studi OECD-PISA pada 2006 menunjukkan bahwa kemampuan membaca anak-anak Indonesia-mencapai skor 392- masih jauh di bawah kemampuan rata-rata negara-negara OECD, yang mencapai skor 492. Laporan menyangkut budaya baca masyarakat Indonesia ini hanyalah rangkaian riset kesekian yang masih menunjukkan bahwa budaya baca masyarakat Indonesia masih lemah. Karena itu, dalam hal kemampuan membaca ini, Indonesia harus melongok ke negara-negara lain yang mencapai skor tinggi. Siapa mereka? Skor tertinggi dipegang oleh Korea (556). Berikutnya adalah Finlandia (547), Hong Kong-Cina (536), Kanada (520), dan Selandia Baru (530).

Mengapa minat baca masyarakat di Indonesia dinilai masih rendah? Hari Karyono, dosen pascasarjana Universitas PGRI Adibuana Surabaya, yang pernah melakukan studi dalam hal ini, mengungkapkan sejumlah faktor (sumber libra-ry.um.ac.id, Oktober 2007). Antara lain, masih rendahnya kemahiran membaca siswa di sekolah. Hasil penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional menunjukkan kemahiran membaca anak usia 15 tahun di Indonesia sangat memprihatinkan. Sekitar 37,6 persen hanya bisa membaca tanpa bisa menangkap maknanya, dan 24,8 persen hanya bisa mengaitkan teks yang dibaca dengan satu informasi pengetahuan (Kompas, 2 Juli 2003).

Faktor lain, sistem pembelajaran di Indonesia belum membuat anak-anak/siswa/mahasiswa harus membaca buku (lebih banyak lebih baik), mencari informasi/pengetahuan lebih dari apa yang diajarkan, serta mengapresiasi karya-karya ilmiah, filsafat, sastra, dan lain sebagainya. Hal ini karena sistem pendidikan kita mengarah ke ujian akhir. Semua pelajaran ditujukan untuk menyiapkan siswa menghadapi ujian akhir. Alhasil, sedikit sekali rangsangan untuk membaca buku tambahan.

Faktor budaya juga berpengaruh. Budaya baca memang belum pernah diwariskan nenek moyang kita. Kita terbiasa mendengar dan belajar berbagai dongeng, kisah, dan adat-istiadat secara verbal yang di kemukakan orang tua. Anak-anak didongengi secara lisan. Tidak ada pembelajaran (sosialisasi) secara tertulis. Jadi, sebagian masyarakat Indonesia tidak terbiasa mencapai pengetahuan melalui bacaan.

Faktor lain, kurangnya sarana untuk memperoleh bacaan, seperti perpustakaan atau taman bacaan. Hal ini berkaitan dengan daya beli masyarakat yang masih rendah. Minimnya koleksi buku di perpustakaan, serta kondisi perpustakaan yang tidak memberikan iklim yang kondusif bagi tumbuhnya minat baca pengunjung yang memanfaatkan jasa perpustakaan, juga menjadi faktor.

Yang perlu digarisbawahi, Hari Karyono menyebutkan bahwa faktor yang menyebabkan rendahnya minat baca masyarakat adalah belum adanya lembaga atau institusi yang secara formal khusus menangani minat baca. Program menumbuhkan minat baca hanya dilakukan secara sporadis oleh LSM, organisasi pencinta buku, organisasi penerbit, dan lain sebagainya, yang tidak terkoordinasi. Sehingga, walaupun potensi sumber daya manusianya ada, mereka belum menjadi kekuatan yang secara sinergis menjadi instrumen yang efektif untuk menumbuhkan minat baca masyarakat Indonesia.

Kritik untuk pemerintah ini perlu didengarkan. Secara perundang-undangan, dorongan pemerintah untuk meningkatkan budaya baca sudah cukup memadai. Namun kritik Hari Karyono itu semoga segera menjadi masa lalu. Sebab, Direktorat Pendidikan Masyarakat sekarang ini melakukan berbagai gebrakan untuk mendongkrak budaya baca masyarakat, antara lain melalui upaya penerbitan Koran Ibu- program yang inovatif-yang bertujuan menjaga keberlanjutan kemampuan baca para aksarawan baru. Upaya lain, melalui pemberian penghargaan bagi pengelola Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat dan Taman Bacaan Masyarakat yang kreatif. Belakangan bahkan Taman Bacaan Masyarakat itu diharapkan tak hanya kreatif, tapi juga rekreatif alias mampu membuat masyarakat “bergairah hidup dan membaca”. Buku Panduan TBM kreatif pun telah diluncurkan. Persoalannya, semua program yang inovatif itu juga membutuhkan dukungan dan pengawasan masyarakat. Di sinilah sinergi antar-masyarakat, baik secara individu maupun organisasi semacam Rumah Dunia, perlu terus dikembangkan. *

Q&A Blog untuk Guru

Sekolah internat Al Kausar, jalan Habib Desa Babakan Jaya, Parung Kuda, Sukabumi menyelenggarakan workshop pembuatan blog untuk guru dan staf intern sekolah tersebut pada 11 Maret 2008. Latihan kerja itu ditekankan pada masalah isi (konten) blog untuk guru. Pembicara: Kelik M. Nugroho, (jurnalis dan penulis yang mengelola blog resensi guru ARAH GURU). Referensi: Wikipedia dan lain-lain. Berikut ini isi makalahnya dalam bentuk pertanyaan dan jawaban.

Apa pengertian blog?

Blog (dari web log) adalah sebuah website di mana masukan (entries) ditulis dalam bentuk kronologis dan umumnya tertayang di layar berurutan secara terbalik. Blog menyajikan komentar atau berita tentang subyek khusus seperti makanan, politik, atau peristiwa lokal; beberapa fungsinya lebih sebagai buku harian online. Umumnya blog merupakan kombinasi antara teks, gambar, juga video, dan bertaut dengan blog lain, situs, lain atau media lain yang topiknya terkait. Kemampuannya untuk menampung komentar dari pembaca dalam bentuk interaktif menjadi bagian penting dari banyak blog.

Keunggulan blog?

Publishable (langsung bisa tayang, tanpa sensor), findable (mudah ditemukan), social network (membuat jaringan sosial), viral (menyebar seperti getok tular tradisional), syndicatable (bisa dikelompokkan), linkable (bisa tersambung ke blog dan situs lain).

Bagaimana mencari penyedia layanan pembuatan blog?

Ada sejumlah penyedia layanan pembuatan blog (disebut blog hosting service) di internet. Mereka antara lain blogger.com, wordpress.com, dan sekarang ada yang dari Indonesia, yaitu dagdigdug.com. Mereka menyediakan software yang siap pakai dan gratis. Cara mengunduhnya pun hanya memerlukan tiga langkah. Yang penting anda memiliki alamat email.

Mengapa guru perlu membuat blog?

Senyampang membuat blog itu gratis dan gampang, maka blog adalah anugerah yang harus disyukuri manusia. Rasa syukur itu bisa diekspresikan dengan cara memanfaatkannya untuk kepentingan sosial. Guru yang membuat blog berarti telah menjadikan dirinya mahluk sosial yang lebih berarti. Bayangkan, misalnya seorang guru sejarah selama setahun mengajar untuk 50 anak. Dengan membuat blog, guru yang meletakkan naskah pelajaran sejarahnya di blog, pelajarannya akan dibaca oleh 3600 orang, bila diandaikan blognya dikunjungi 10 orang setiap harinya selama 360 hari. Artinya, secara kuantitas, ilmu blogger guru sejarah itu berarti untuk orang 72 kali lebih banyak dibandingkan bila ilmunya hanya diajarkan di ruang kelas saja.

Secara kualitatif, pengajaran melalui blog bisa meningkatkan efektivitas dan efisiensi. Mengapa? Karena blog ini peranti canggih yang dilengkapi dengan mesin pencari (search engine), mesin penghubung (linkable), dan peranti lunak untuk menampilkan gambar dan video, dan lain-lain. Guru yang mengajarkan pelajaran agama Islam, misalnya bisa menampilkan satu naskah pendek tentang sejarah Nabi Muhammad yang disambungkan ke entries-entries penting dari Wikipedia. Misalnya, menyebut Mekkah, lalu disambungkan ke entries Mekkah di Wikipedia. Dan lain sebagainya. Pendek kata, mengajar yang dilengkapi dengan blog guru akan lebih efektif, efisien, dan menghibur.

Persiapan sebelum membuat blog?

Secara teknis, Anda hanya memerlukan sebuah alamat email. Kalau belum punya, silakan anda bikin ke Yahoo.com atau Google.Com. Anda hanya harus mengisi formulir berisi pertanyaan data pribadi anda. Semuanya gratis.

Persiapan materinya, ya cukup materi pelajaran yang selama ini Anda geluti dan kuasai saja. Dengan kerangka “blogging mindset”, kita insya Allah akan mengarah dengan sendirinya untuk mendesain isi blog agar semakin hari semakin cerdas.

Tema blog yang bisa ditulis?

Sebetulnya tema blog yang bisa ditulis bisa bebas sekali. Cuma untuk kepentingan efektivitas pengajaran, tentu tema yang sebaiknya dipilih oleh guru sesuai dengan bidang kompetensi masing-masing. Yang harus dipegang teguh dalam hal ini adalah tujuan membuat blog untuk pengajaran, yaitu agar proses transformasi pengetahuan dan nilai berlangsung secara efektif, efisien dan menyehatkan.

Keuntungan memiliki blog guru?

1. Meningkatkan kompetensi. Dengan mengelola blog, guru secara tidak langsung dituntut untuk meningkatkan kompetensi sesuai bidangnya. Malu dong kalau muncul di layar internet yang bisa dibaca orang seluruh dunia eh kelihatan de bodornya.
2. Aktualisasi diri. Dengan mengelola blog, secara psikologis guru terpenuhi salah satu kebutuhan psikologisnya, yaitu aktualisasi diri. Ada perasaan diakui orang lain dengan banyaknya kunjungan dan komentar di blog.
3. Panggung sosial. Ini untuk tak mengatakan bahwa dengan membuat blog, otomatis nama seseorang akan lebih dikenal lebih luas dan lebih populer.
4. Pendapatan tambahan. Banyak blog yang sekarang ini dikabarkan mampu menghasilkan uang dari para pemasang iklan.
5. Transformasi ilmu. Tentu yang diuntungkan adalah para murid yang ingin menguasai ilmu secara lebih efektif, efisien dan menyehatkan.

Sekilas Arah Guru?

Blog Arah Guru dikelola secara pribadi oleh Kelik M. Nugroho, seorang jurnalis di Jakarta, sejak September 2007. Blog ini berisi resensi blog guru, dan bonus artikel. Blog guru yang dipilih disyaratkan paling tidak diperbarui setiap bulan. Jumlah posting: 13 resensi, 2 bonus artikel, 2 catatan harian, 26 komentar. Rata-rata pengunjung berkomentar positif. Blog ini hingga 10 Maret 2008 diklik 1590 kali. *

 

 

 

 

 

 



Nyanyi Sunyi Jurnalisme Perdamaian

Media massa di Indonesia pasca reformasi memasuki tahapan baru sebagai pers bebas, salah satu prasyarat untuk menjadi media yang profesional. Media massa di masa Orde Baru mengalami kendala untuk mewujudkan diri sebagai media yang profesional, karena salah satu syarat dasarnya belum terpenuhi, yaitu kebebasan untuk memperoleh informasi dan mewartakannya. Read more »

Simpon Muhammadiyah

Simpon1.wordpress.com

Blog yang belum punya nama di papan depan ini dikelola Hermawan Lastiyono, ST., guru matematika dan TIK di Muhammadiyah I Surakarta. Apakah namanya Simpon Muhammadiyah? Blog yang mulai dibuka November 2007 ini baru memuat tiga tulisan, tapi sudah diresensi oleh Arah Guru, karena satu alasan strategis. Bahwa salah satu tulisan tersebut memuat pengumuman lomba pembuatan bahan ajar interaktif berbantukan komputer tingkat SMP/SMK/SMA dan sederajat di Jawa tengah.

Saya berharap pak guru Hermawan mengembangkan blog ini untuk pengembangan bidang pembuatan bahan ajar interaktif berbantukan komputer. Paling tidak dimulai dari laporan hasil lomba tersebut dan menuliskannya di blog untuk kepentingan pendidikan yang lebih luas. Blog pak guru Hermawan ini memiliki potensi untuk dikembangkan, paling tidak dilihat dari penataan menu dalam bar dan halaman. *

Piringanhitam Goes Transtv

Pengelola blog piringanhitam.blogspot.com Kelik M. Nugroho diundang ke acara talkshow berita Good Morning Transtv pada Kamis, 22 November 2007, jam 08.30. Pihak Good Morning ingin menampilkan profil kolektor piringan hitam dan kaset jadul (jaman dulu). Kepada reporternya mbak Putri, saya mencoba bertanya, mengapa mereka memilih saya, padahal banyak kolektor lain yang memiliki koleksi yang lebih banyak. Mbak Putri menjawab bahwa dia menemukan nama saya dari blog ini, dan satu-satunya blog kolektor yang memasang nomor telepon genggam yang bisa dihubungi hanyalah saya.

Atas undangan itu dan atas kepercayaan produser Good Morning Transtv, saya mengucapkan terima kasih. Saya merasakan ada aura dan semangat positif dari tim Good Morning ini. Bagi saya, undangan itu merupakan bentuk dari apresiasi mereka kepada upaya penghargaan atas karya-karya kreatif — yang dulu dilupakan — yang kini dirawat sebagian para kolektor.

Kepada mbak Rieke Diah Pitaloka dan mas Ferdi Hasan, presenter yang rileks dan hangat, saya juga merasakan aura penghargaan yang sama atas karya-karya seniman lama yang terekam dalam kaset jadul dan piringan hitam. Secara spontan, mas Ferdi menyetel satu lagu dari kaset P. Ramlee dan album Dasa Tembang Tercantik Prambors pertama pada 1977 yang antara lain berisi lagu Lilin-lilin Kecil. Mendengar musik itu untuk pengantar dan ilustrasi acara — yang dilakukan sendiri mas Ferdi Hasan, merupakan kejadian yang tak kan terlupakan.

Selamat dan terima kasih kepada tim Good Morning. Maju terus.

Kelik M. Nugroho
Pengelola blog:
piringanhitam.wordpress.com
pabrikbunyi.wordpress.com
arahguru.wordpress.com